Catatan Dahlan Iskan
Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu –
kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah
tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti
menyalahi perilaku yang alami seperti itu ?
"Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya," ujar Prof
Dr Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme
(Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul
yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk
untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana
anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu
manusia, katanya.
Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi
penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika
masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi
dengan enzim yang diproduksi mulut kita.
Akibat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat.
Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali
dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa mengeluarkan cadangan "enzim
induk" yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk
pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang. Namun, karena enzim induk
terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu, peminum susu akan
lebih mudah terkena osteoporosis.
Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka
di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan
tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun.
Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia
sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia
Amerika dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama
kariernya sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.
Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan
penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan
kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya
berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia
sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.
Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan
makanan/minu man yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul,
bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet
gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus.
Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat
bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.
Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia
lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan
saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak.
Akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat
jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat
menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan
kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang
kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.
Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan.
Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh
makanan yang masuk ke perut.
Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa,
keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabk an. Misalnya, dia minta kita
menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak
makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti
bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen
dari seluruh makanan yang kita perlukan.
Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang
kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh
mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang
tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.
Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan
itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang
agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih
penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara
sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan
yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar
air sudah sempat diserap usus lebih dulu.
Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan.
Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga menganjurkan agar
setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam
kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau
semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang
umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.
Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah
diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang
tersimpan di dalam "lumbung enzim-induk". Enzim-induk ini setiap hari
dikeluarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim
sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke
perut, semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia,
adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.
Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan
langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah
dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal
makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang
sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi
yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan
pun demikian.
Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah
persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau
makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau
makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi,
katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu
memerlukan enzim yang banyak.
Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah.
Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi
keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang.
Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari
lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu
harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras
lumbung enzim.
Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu
dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum
pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia
juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa.
Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke
dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.
Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan "pengobatan" seperti itu.
Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan
dengan "pengobatan" alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta
mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan.
Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang
sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh
secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal,
penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dokter
spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu
kedokteran yang sesungguhnya.
Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru
bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun
lagi sebulan ke depan.
Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan
makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah
senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa
membuat enzim-induk bertambah. Nah... gan pei!
1 komentar:
Setuju... karena katanya (yang saya baca di Indopos, 30 Juni 2009), lidah itu tak bertulang... apa saja mau... tapi dia tidak bertanggung jawab atas apa yang sudah dirasakan enak.
Jadi makanlah apa yang dibutuhkan oleh tubuh... bukan oleh lidah... betul ?
Posting Komentar