Rabu, 3 Juni 2009
Dunia maya mengubah wajah dunia, e-mail hingga Facebook menjadi sarana
untuk menciptakan masyarakat madani. Namun, di Indonesia, ibu muda bernama
Prita Mulyasari (32) justru dipenjara karena curhat melalui e-mail....
Berkerudung, dipadu celana jeans dan memangku dua bocah cilik berwajah
ceria. Itulah sosok Prita yang dapat dilihat pengguna internet di seluruh
dunia. Prita bukan sekadar sosok ibu rumah tangga di sebuah negara
berkembang.
Prita adalah satu dari sekian juta orang Indonesia yang memiliki kesadaran
berinteraksi di dunia maya. Sayang, kesadaran berinteraksi di dunia maya
justru menjerumuskan Prita ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang,
Banten.
Sejak 13 Mei 2009, kehidupan Prita sebagai ibu dua anak balita sekaligus
karyawan dicabut begitu saja. Semua berawal dari e-mail pribadi yang
dikirim pada 15 Agustus 2008 berisi keluhan Prita atas layanan di Rumah
Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang.
"Tanpa pemberitahuan akan ditahan, saya dijemput petugas kejaksaan dan
tidak diizinkan pulang kembali untuk berpamitan dengan anak-anak. Hingga
kini anak-anak diberi tahu saya sedang sakit. Mereka tidak tahu ibunya
dipenjara," kata Prita diiringi isak tangis saat ditemui di LP Wanita
Tangerang, Selasa (2/6) siang.
Hari itu genap tiga minggu dia dibui karena dianggap melanggar Pasal 310
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman pidana Pasal 27 Ayat 3 UU ITE itu tidak main-main. Ibu rumah tangga
penulis e-mail itu diancam penjara hingga enam tahun!
Benang kusut bermula dari tersebarnya e-mail pribadi itu yang akhirnya
beredar luas di dunia maya. E-mail itu antara lain menceritakan pengalaman
Prita yang merasa tidak mendapatkan informasi pasti atas pelayanan medis di
RS Omni Internasional.
"Ada beda informasi mengenai hasil tes laboratorium saat dirawat di sana.
Saya malah mengalami bengkak di tangan, muka, dan mata dan tidak sembuh
setelah dirawat empat hari. Akhirnya keluarga memaksa saya dipindahkan,
dirawat di sebuah rumah sakit di Bintaro," kata Prita menjelaskan awal
persoalan, yang sebagian dituangkan di dalam e-mail yang dianggap
bermasalah itu.
Merusak nama baik
Pengacara RS Omni Internasional Alam Sutra, Risma Situmorang, mengatakan,
Prita telah merusak nama baik kliennya. Menurut Risma, RS Omni pernah
meminta Prita menarik pernyataannya yang tertulis dalam e-mail dan beredar
di beberapa mailing list. Namun, hal itu tidak dipenuhi Prita. Akibatnya,
kliennya mengajukan tuntutan sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Orang berhak menggunakan haknya, tetapi jangan sampai melanggar hak
subyektif orang lain. Ini yang mendasari laporan pidana dan gugatan RS Omni
kepada Prita," kata Risma.
Demi membela nama baiknya, selain mengajukan tuntutan hukum, manajemen RS
Omni terpaksa membuat surat klarifikasi bantahan melalui dua surat kabar
nasional, yaitu Kompas dan Media Indonesia, pada 8 September 2008.
Klarifikasi itu secara spesifik menanggapi e-mail Prita yang dikirimkan ke
beberapa teman pada 15 Agustus 2008.
Prita dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama
baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang
pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta
Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1
miliar.
Selanjutnya, pada 11 Mei 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan
gugatan RS Omni. Putusan perdata menyatakan Prita terbukti melakukan
perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Hakim memutuskan Prita membayar
kerugian materiil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di
koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil.
Prita, warga Vila Melati, Serpong, Tangerang, ini mengajukan banding dan
akan kembali ke ruang sidang pada 4 Juni mendatang.
Hak paling dasar
Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Nur Kholis, saat mengunjungi Prita, menyatakan, persoalan antara
Prita dan RS Omni kalaupun ada merupakan masalah hukum perdata. E-mail yang
ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan
manusia di sebuah negara beradab.
"Kalau dianggap ada persoalan hukum, harus dibatasi pada ranah perdata.
Yang lebih penting lagi, keberadaan e-mail adalah salah satu sarana untuk
kebebasan mengemukakan pendapat bagi warga negara yang dilindungi
konstitusi dan piagam HAM dunia. Tidak pada tempatnya tindakan hukum pidana
dalam persoalan ini," kata Nur Kholis.
Nur Kholis menegaskan, kasus Prita bisa menjadi preseden buruk atas
penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.
Aktivis blogger, Iwan Piliang, seusai mengunjungi Prita menyatakan, sudah
ada 15.000 dukungan di Facebook terhadap Prita. "Aturan yang dikenakan
kepada Prita sangat bertentangan dengan norma hukum yang berlaku di dunia.
Undang-undang di Indonesia justru dibuat untuk menekan warga," kata Iwan
Piliang.
Prita, ibu dari Khairan Ananta Nugroho (3) dan Ranarya Puandida Nugroho (1
tahun 3 bulan), menunggu jalan panjang menanti ke mana "Pedang Damocles"
diayunkan. Sejak ditahan, kedua anaknya kehilangan sentuhan ibu dan kini
diasuh oleh ayahnya, Andri Nugroho, yang bekerja di perusahaan asuransi.
"Saya pengin pulang. Saya ingin dekat dengan anak-anak," kata Prita sambil
terus terisak.
Prita yang dibui adalah potret kelas menengah yang diharapkan menjadi agen
perubahan damai sebuah bangsa Indonesia yang konon sedang bereformasi....
Sumber : Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar