Rabu, 10 Juni 2009

Re: [Alumni-PIKA] [PDS Post] Susu Sapi Bukan Untuk Manusia

Betul Pak, Prof  Dr Hiromi Shi­nya menyarankan makan makanan yang enak-enak supaya pikiran dan hati senang. Tapi makanan yang enak bukan berarti daging. Bagi orang vegetarian semua daging tidak enak. Bagi orang muslim daging babi tidak enak. Jadi pilih makanan enak bagi masing-masing orang, supaya pikiran dan hati senang. Kalau pikiran dan hati Pak Mul senang kalau makan daging, ya makan daging lah....kalau dilarang kan malah stress...tidak baik untuk kesehatan... itu kata sang profesor.
 
Selamat makan enak,
PDS
 
 
----- Original Message -----

Untuk Harsoyo....Ya wis kalau dah nurut, tapi yang penting diakhir kalimatnya PDS kok kita diwajibkan makan yang enak supaya pikiran dan hati senang....maksudnya gimana pak PDS....padahal kita kan masih senang makan daging yang banyak daripada makan nasi yang banyak.....gimana nich pemecahannya.Kalau makannya sayuran tok lemes donk.
Salam
Muljono Sutedjo

--- On Wed, 6/10/09, Harsojo Wignjowargo <harsojo@wignjowargo.com> wrote:

From: Harsojo Wignjowargo harsojo@wignjowargo.com

Frans…………..

Klo aku ikut apa kt koh Moel aja dech……………

Mo suruh merah yo gak opo2……….. asal jgn sampai merah aja….

 

 

Terimakasih,

Harsoyo

+62 81 128 0412

harsoyo@bogowonto. com

harsojo@wignjowargo .com


From: Alumni-PIKA@ yahoogroups. com [mailto: Alumni-PIKA@ yahoogroups. com ] On Behalf Of tri buana
Sent: 10 Juni 2009 17:35
To: Alumni-PIKA@ yahoogroups. com
Subject: Re: [Alumni-PIKA] [PDS Post] Susu Sapi Bukan Untuk Manusia

waduh...., apakah ini peringatan untuk blower-blower tiap angkatan?

hehehe


From: frans prabawa <frans_prabawa@ yahoo.com>
To: Alumni-PIKA@ yahoogroups. com
Sent: Wednesday, 10 June 2009 9:44:51
Subject: Re: [Alumni-PIKA] [PDS Post] Susu Sapi Bukan Untuk Manusia

Tapi ndak setuju juga nih Eyang. Skg kalo semua harus susu manusia, apakah nantinya ada peternakan susu manusia perah? Bisa2 Pak Har dan Pak Moel yg memonopoli peternakan itu melebihi Bob Sadino.

Salam perah

Frans


From: PDS - Alumni PIKA <pdsarwono@gmail. com>
To: alumni-pika@ yahoogroups. com
Sent: Wednesday, June 10, 2009 9:37:37 AM
Subject: [Alumni-PIKA] [PDS Post] Susu Sapi Bukan Untuk Manusia

Susu Sapi Bukan Untuk Manusia
Catatan Dahlan Iskan

Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu –
kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah
tidak anak-anak lagi ti­dak akan minum susu. Mengapa manusia seper­ti
menyalahi perilaku yang alami seperti itu ?

"Itu gara-gara pabrik susu yang terus meng­iklankan produknya," ujar Prof
Dr Hiromi Shi­nya, penulis buku yang sangat laris: The Mira­cle of Enzyme
(Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul
yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk
untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana
anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu
manusia, katanya.

Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi
penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika
masuk mulut langsung menga­lir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi
dengan enzim yang diproduksi mulut kita.

Aki­bat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat.

Begitu sampai di usus, susu tersebut lang­sung menggumpal dan sulit sekali
dicerna. Un­tuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa menge­luar­kan cadangan "enzim
induk" yang seha­rus­nya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk
pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang. Namun, karena enzim induk
terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu, peminum susu akan
lebih mu­dah terkena osteoporosis.

Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sen­sasi. Dia ahli usus terkemuka
di dunia. Dia­lah dokter pertama di dunia yang melakukan ope­rasi polip dan
tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun.
Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia
sudah me­me­riksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia
Amerika dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama
kariernya sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.

Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiro­mi sekalian melakukan
penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus de­ngan
kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya
berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak ber­mu­tu. Dan, yang dia
sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.

Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan
makanan/mi­nu­ man yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bi­sul-bisul,
bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet
gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus.
Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sa­ngat
bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.

Karena tugas usus adalah menyerap maka­nan, tugas itu tidak bisa dia
lakukan kalau ma­kanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bu­kan
saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak.
Aki­batnya, per­tumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat
jelek, sel radikal bebas ber­mun­cu­lan, penyakit timbul, dan kulit cepat
menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti da­ging, bisa menyisakan
kotoran yang menem­pel di din­ding usus: menjadi tinja stagnan yang
kemu­dian membusuk dan me­nimbulkan penyakit lagi.

Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomen­da­sikan daging sebagai makanan.
Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 per­sen dari seluruh
makanan yang masuk ke perut.

Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa,
keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabk an. Misalnya, dia minta kita
menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak
makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti
bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen
dari seluruh makanan yang kita perlukan.

Dia juga menyebut contoh harimau yang ha­nya makan daging. Larinya memang
kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh
mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang
tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.

Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan
itu, kata­nya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, un­tuk makanan yang
agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang le­bih
penting agar di mulut makanan bisa ber­cam­pur dengan enzim secara
sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan
yang baik. Minum itu, tulisnya, se­baiknya setengah jam sebelum makan. Agar
air sudah sempat diserap usus lebih dulu.

Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan.
Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga me­nganjurkan agar
setelah makan sebaiknya ja­ngan tidur sebelum empat atau lima jam
ke­mu­­dian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau
semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang
umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.

Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah
diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah ter­tentu yang
tersimpan di dalam "lumbung en­zim-induk". Enzim-induk ini setiap hari
dike­luarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah men­jadi berbagai macam enzim
sesuai keper­luan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke
perut, semakin boros menguras lum­bung enzim-induk. Mati, menurut dia,
ada­lah habisnya enzim di lumbung masing-masing.

Maka untuk bisa berumur panjang, awet mu­da, tidak pernah sakit, dan
langsing haruslah meng­hemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah
dengan cara selalu makan ma­ka­nan segar. Ada yang menarik dalam hal
makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang
sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi
yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan
pun demikian.

Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah
persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau
makan makanan yang digo­reng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau
makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi,
katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, me­ngolah makanan seperti itu
memerlukan enzim yang banyak.

Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah.
Jangan terlalu ba­nyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi
keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang.
Mem­buangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari
lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu
harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras
lumbung enzim.

Prof Hiromi sendiri secara konsekuen men­jalani prinsip hidup seperti itu
dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 ta­hun, tapi belum
pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia
juga makan makanan yang di luar itu. Se­bab, sesekali saja tidak apa-apa.
Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke
dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.

Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga mene­rapkan "pengobatan" seperti itu.
Pasien-pa­sien penyakit usus, termasuk kanker usus, ba­nyak dia selesaikan
dengan "pengobatan" ala­miah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta
mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan.
Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari sa­tu sisi di bidang
sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh
se­cara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal,
penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dok­ter
spesialis lain. Pendidikan dokter spe­sia­lis­lah yang menghancurkan ilmu
kedok­te­ran yang sesungguhnya.

Saya mencoba mengikuti saran buku ini se­bulan terakhir ini. Tapi, baru
bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun
lagi sebulan ke depan.

Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan
makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya se­nang. Kalau hatinya sudah
senang dan pi­kirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa
membuat enzim-induk ber­tambah. Nah... gan pei !

--
Posting oleh PDS - Alumni PIKA ke PDS Post pada 6/09/2009 07:43:00 PM

 

 

!

Tidak ada komentar: