Djoko Suud Sukahar - detikNews
Jakarta - Ini perang kembang. Perang abal-abal. Perang Buto Cakil melawan
Arjuna. Siapa saja tahu pemenangnya. Pakem dalang bilang begitu. Maka di
tengah menyambut kekalahan itu, partai politik yang sadar perannya sebagai
Cakil sedang meracik formula bagaimana kalah tidak malu dan tetap punya
posisi tawar. Makanya sulitnya amit-amit mencari calon wakil presiden.
Kalau kita nonton televisi, memang terus terdengar geger kepati-pati. Partai
politik itu ribut negosiasi. Sama-sama janjian untuk saling ketemu, tapi
juga sama-sama janjian untuk saling ingkar janji. Kenapa ketemu untuk
diingkari saja kok pakai janjian? Itu karena sama-sama tahu, para calon
presiden yang diusung itu sama-sama sedang mencari tumbal. Tumbal bagi
kekalahannya.
Lihat saja bagaimana Prabowo Subianto batal janjian dengan Mbak Mega. Lihat
pula lucunya Jusuf Kalla (JK) menggandeng Wiranto. Dan simak juga apelnya
Sultan ke Kebagusan yang tiba-tiba hilang dari peredaran. Kenapa dinamisasi
itu berakhir deadlock?
Jawabnya hanya satu, karena mereka memang pegang skenario yang sama. Mereka
sama-sama yakin kalah. Dan untuk itu sama-sama pula sedang menjalankan
strategi agar kelihatan elegan saat kalah. Untuk itu jangan banyak berharap
Mega, Sultan, Prabowo, Jusuf Kalla akan mau mengalah. Soalnya yang mengalah
itu merasa akan jadi tokoh yang kalah. Tokoh malu-maluin, karena rencananya
memang difungsikan untuk penutup rasa malu.
Rapimnasus Partai Golkar adalah salah satu detektor soal itu. Partai ini
memilih malu-maluin ketimbang malu. JK diusung sebagai calon presiden.
Partai ini menutup hati dan pikiran terhadap berbagai survei. Menutup arus
bawah, DPD-DPD, dan pakai kacamata kuda yang bisa nabrak tanpa rasa
bersalah. Itu artinya JK belum mengambil pelajaran dari yang sudah-sudah.
Istilah saya 'tragedi matahari kembar' mungkin kembali bakal menimpa partai
ini.
Partai sekuat dan sehebat Golkar menjadi partai tidak kuat dan tidak hebat
tidak bisa disebut karena nasib. Ini hasil dari sebuah proses.
Cakramanggilingan yang ngunduh wohing pakarti. Kesalahan sikap yang berbuah
kehancuran. Adakah keterpurukan itu yang akan diulang?
Dalam serat kuno Tantu Panggelaran disebut, bahwa politik itu adalah cara.
Cara mengambil kekuasaan dengan pola pseudo dan indah. Dicontohkan bagaimana
perebutan tahta dewa saja bisa dipolitisasi dengan begitu indah, apalagi
jagad manusia. Pertama Siwa naik status dan diganti sebagai Batara Guru.
Proses berikutnya masuk seluruh dewa sebagai anak Batara Guru.
Ketika Batara Guru terlalu dominan dan adigang-adigung, maka diciptakan
tokoh proletar bernama Semar. Sosok berjambul dan berperut buncit itu bisa
mengalahkan segalanya. Jangan lagi cuma raja. Dewa pun tidak bernyali kalau
lagi 'kekuasaannya' dioperasionalkan. Padahal dalam mitos kejadian, Semar
itu saudara Batara Guru, selain Togog.
Setelah figur berhasil dicetak, maka bendera kuasa perlu dibuat. Mahameru
yang mistis dipindahkan ke Tanah Jawa. Saat pemindahan perlu diecer-ecer.
Itu agar sinkron dengan lokal area. Masuklah Gunung Lawu, Gunung Kelud,
Gunung Arjuna, dan Gunung Semeru. Gunung terakhir ini yang sering dijadikan
pandom bagi para spiritualis untuk memprediksi situasi politik negeri ini.
Sekarang siapa tokoh yang mampu ditampilkan menyerupai itu? Dan kalau omong
soal sang saka, partai manakah yang benderanya bisa dipancang dan berkibar
dengan megah? Itu tengaranya.
Memang ini agak nglenik. Tapi adakah kita masih terlalu bergantung pada
logika yang tidak mampu mengantisipasi AIDS, demam berdarah, flu burung, flu
babi, pilek binatang-binatang lain yang bakal bermunculan di kemudian hari?
Ya, kita memang sering mati rasa karena terlalu mengandalkan logika.
* Djoko Suud: pemerhati budaya tinggal di Jakarta.