Rabu, 08 April 2009

Surga Amerika Latin

Surga Amerika Latin
http://www.resistbook.or.id/index.php?page=newsletter&no=20-2007&id=34&lang=id

Kita tak ingin menjadi negara yang menindas hak hidup buruh, anak dan melukai martabat manusia. Kita tak mau jadi negara yang hanya berpikir untuk menaikkan pendapatan, kita musti jadi negara yang memprioritaskan kehidupan rakyat.
(Hugo Chavez)

Di negeri Kuba hiduplah Fidel Castro. Tua tetapi pemberani. Dihormati dan sekaligus ditakuti. Dipimpinnya Kuba dengan cara menakjubkan. Sosialisme yang dihina, dicerca dan dianggap tak masuk akal ternyata dapat bertahan di sana. Dibangunnya sistem sosial yang mirip dengan Firdaus. Pendidikan gratis, kesehatan murah dan layanan media yang menyehatkan. Michael Moore sampai mengabadikan itu dalam film dokumenter terbarunya. Kisah tentang layanan kesehatan Kuba yang mampu mengobati warga Amerika. Castro seperti keajaiban dunia: menyulap sosialisme dalam teori menjadi sistem sosial. Beruntung Castro bukan Presiden hasil pemilu. Kekuasaanya muncul ketika bertarung, bergerilya dan memaksa turun Batista. Pemimpin diktator dan bodoh.

Di ujung yang lain muncul Kolonel Hugo Chaves. Tampan, kekar dan menyala-nyala pidatonya. Mengkritik telenovela hingga mencaci George Bush. Semua perusahaan asing dikuasainya dan dikelola Venezuela dengan cara mirip Fidel Castro. Dua-duanya saling berkunjung. Seperti seorang anak dan kakek. Intim, hangat dan suka mencela kapitalisme. Chaves pernah dikudeta tapi kembali ke kursi kekuasaan dengan bantuan massa rakyat. Didirikan sekolah gratis, asuransi kesehatan, pemukiman orang miskin hingga kursus komputer untuk manula. Ajaib memang: Chaves malah usulkan gaji untuk ibu rumah tangga. Mantan serdadu yang hampir dikeluarkan karena menolak menyiksa rakyat. Serdadu yang menganggumi sosialisme dan suka baca Karl Marx. Sudah pasti bukan tergolong tentara bodoh. Hugo Chaves lagi-lagi menunjukkan model kepemimpinan yang bermartabat dan punya nyali.

Lalu muncul pula Evo Moralez. Presiden yang lebih suka memakai baju adat ketimbang jas yang licin. Putera seorang tukal sol sepatu yang menolak bantuan pemerintah untuk partainya. Sama dengan Chaves: benci dengan penguasa Amerika. Waktu dilantik Evo Moralez memilih tanah kuburan sebagai lokasi. Dipotongnya gajinya sendiri. Dipangkasnya gaji menteri. Tanpa perlu reshuffle, Moralez membuat perubahan luar biasa. Memaksa perusahaan asing untuk kembali berunding. Presiden yang keras dan menganggumkan ini menasionalisasi sejumlah perusahaan tambang. Benar ia menang pemilu: tapi tidak melalui partai culas yang suka sekali uang. Moralitasnya sederhana: jangan mencuri, jangan bohong dan jangan berkhianat pada rakyat.  Nyalinya mengingatkan kita pada Imam Khomeini, yang mencerca kapitalisme sembari berpegang teguh pada kemakmuran rakyat.

Tiga pemimpin ini berkuasa di Kuba, Venezuela dan Bolivia. Populer karena pembangkanganya pada kapitalisme. Tanpa gelar akademik yang tinggi dipuaskannya kesejahteraan rakyat. Ketiganya tahu kalau urusan pendidikan, tempat tinggal dan kesehatan adalah tugas pokoknya. Juga mereka paham bagaimana sejarah penindasan Amerika yang menyedot potensi terbaik Amerika Latin. Tak diindahkan semua nasehat sesat Bank Dunia, IMF apalagi PBB. Badan International yang culas ini dianjurkan untuk gulung tikar saja. Dalam bahasa yang mudah, perlu untuk diruwat. Karena itu mereka menyusun kekuatan tanding. Berserikat antar sesama pemimpin sosialis dan membangun pakta ekonomi sendiri. Kuba, Bolivia, Venezuela dan Argentina membuat stasiun televisi sendiri. Mereka berusaha meredam pengaruh. Siaran busuk negeri kapitalis waktunya dirobohkan. Peperangan bukan hanya dengan semburan kata melainkan lewat pertarungan media.

Dan kita kemudian percaya tindakan ini menggetarkan. Kuba hingga hari ini memiliki relawan kesehatan tertinggi di dunia. Angka melek huruf Bolivia mengalahkan negeri maju sekalipun. Sedang Venezuela memiliki jaminan keluarga yang lebih baik ketimbang Eropa. Begitulah negeri yang berada di tangan Pemimpin yang tidak memenangkan suara tapi nurani. Bekal yang tampaknya kian hilang di tengah kita. Kita mungkin hanya bisa mimpi: menikmati pendidikan gratis, layanan kesehatan murah dan siaran televisi yang sehat. Kuba menjalankan itu bukan dengan mudah. Fidel Castro dan Che Guevara dulu harus berhadapan dengan sanksi ekonomi yang bertubi-tubi. Embargo maupun sanksi perdagangan menimpa Kuba. Bisa jadi banyak pengamat ekonomi yang pesimis. Tapi beruntung Castro dan Guevara lebih percaya pada rakyat ketimbang suara palsu para ilmuwan. Mereka melakukan penghematan yang menakjubkan, sehingga mampu keluar dari topan krisis.

Chavez tak urung mengalami situasi serupa. Usaha melakukan kudeta yang gagal. Yang terbaru adalah tekanan agar tak melakukan pembreidelan. Tapi mereka tidak kemudian ciut nyalinya. Dengan meradang Chavez bergerak melawan para penentangnya. Berdampingan dengan rakyat miskin, Chavez percaya Venezuela akan mengalami kemajuan yang merata. Keadaan yang di Indonesia baru sebatas bunyi Pancasila. Kondisi yang hanya bisa jadi harapan. Disini kenangan akan kemakmuran hanya jadi bait lagu Koes Plus. Negeri surga yang kayunya ditebang dan emasnya dirampok. Kini Amerika Latin seperti memasuki zaman pencerahan. Para pemimpinya paham kalau masalahnya ada di sistem kapitalisme. Sistem yang membiarkan orang miskin lapar dan orang kaya menumpuk-numpuk harta. Kita tahu ini adalah sistem yang bohong. Chavez, Castro, Evo, Nestor dan Daniel Ortega kini melihat Amerika dengan sinis dan jijik. Negara besar yang kikir, congkak dan senang menganiaya.

Amerika Latin membuktikan adanya pemimpin baik. Bukan kisah di negeri dongeng melainkan kenyataan yang benar-benar dapat disentuh. Mereka memadamkan semua seruan, pidato dan tulisan tentang Demokrasi serta pasar bebas. Mereka ramai-ramai berkuasa dengan lebih memihak orang miskin dan tertindas. Mereka bersama-sama meniupkan gerakan kalau kehidupan politik bukanlah tumpukan risalah, ribuan aturan dan ratusan slogan. Kesejahteraan adalah kaidah umum yang dapat ditegakkan melalui sikap, keberanian dan nyali. Mungkin karena itu mereka seperti tak kenal rasa takut. Pandanganya segar dan bernyali. Dan itu yang membuat negeri Amerika Latin seperti lorong firdaus yang membuat kita semua iri.

Bayangan tentang kemiskinan yang mencekik diatasi dengan industri yang berbasis nasional. Industri raksasa yang sahamnya dikuasai dan dimiliki oleh rakyat. Kesehatan yang buruk dipecahkan melalui fakultas kedokteran yang gratis; asuransi kesehatan untuk semua rakyat; rumah sakit yang berbasis tanggung jawab. Repotnya mereka berdiri di bawah bendera sosialis. Ajaran yang ternyata tidak roboh. Ideologi yang nyatanya masih perkasa. Mungkin keyakinan itu yang membuat kapitalisme jadi memalukan. Ideologi yang dipertahankan dengan cara-cara keji. Termasuk disini dengan cara menuduh semua kekuatan kritis sebagai kiri. Tentu sang penuduh agak terlambat membaca tanda-tanda zaman. Mereka tak tahu di negeri yang seperti itulah kini kesejahteraan dan jaminan orang miskin berlaku. Di negeri seperti itulah Amerika, Israel tak sekedar dibakar benderanya. Mereka ramai-ramai menunjukkan pembangkangan dengan menerapkan sistem sosialisme. Makanya kemarahan pada kiri, bukan hanya tampak naif, tapi diam-diam merekalah budak setia Amerika.

Andai begitu alangkah malangnya negeri ini. Penduduknya pengecut dan penguasanya munafik. Lihat saja yang terjadi di Pasuruan: rakyat yang bayar pajak digunakan untuk beli peluru. Peluru itu kembali ke rakyat dengan cara sadis. Hanya di Palestina seorang anak dibantai oleh peluru; kini kenyataan itu berlangsung disini. Ibu dan anak di Pasuruan tertembus peluru militer. Kenyataan buram yang membuat kita semua terdiam dan kemudian hanya bisa tercenung lama. Kita yang salah menjadi rakyat atau memang kebusukan para penguasanya. Secara perlahan kita tak hanya butuh doa, tapi tindakan. Ajak para pemimpin Amerika Latin kesini dan minta mereka memberi khutbah. Khutbah tentang kesejahteraan; keberanian dan martabat. Persis sebagaimana yang diucapkan oleh Evo Moralez : "Kita harus mendirikan negeri yang bermartabat, negeri dimana rakyatnya yang miskin dilindungi, dihargai dan dimuliakan". Betapa agung pidato itu kalau yang membunyikan adalah pemimpin kita. Sayang: saya, anda dan kita semua tidak tinggal di Amerika Latin!

Tidak ada komentar: