Senin, 06 April 2009

Herman

Herman
Senin, 06 April 2009

Potret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah
Herman? Tiba-tiba saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun
lebih, sejak ia hilang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan
kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang
diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya
betul-dan memang tak harus mengenalnya betul.

Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu,
bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir pada 29 Mei 1971 di Pangkal Pinang,
Bangka. Selebihnya tak banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga
sejarawan, menulis kenangan tentang kawannya ini dan mengakui: "Menulis.
tentang Herman Hendarwan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas
politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi.."

Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam beberapa rapat
seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika tentara Soeharto
menangkap dan memburu para anggota PRD, setelah rezim itu memenjarakan
anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya
menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P.. Beberapa orang sudah dilenyapkan.
Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Nezar Patria, Bimo
Petrus, dan lain-lain..

Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain
tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai "Komunitas Utan
Kayu", kami belajar bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI,
organisasi kami, digerebek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari
kami-Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu-mengatur
cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena tiap kali diubah.

Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran
yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk
jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat,
dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar
pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami
saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.

Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang
efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup,
setelah pada 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam
keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan
pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal
keberanian.

PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka
secara lebih dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP)-sebuah langkah ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah
siasat untuk mendelegitimasi pemilihan umum Soeharto ("kami pura-pura
memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura mengadakan pemilu"). Harus
saya katakan sekarang: para anggota PRD-mereka umumnya sadar arti gerakan
politik, bersemangat, dan tak gentar-adalah sayap yang paling saya andalkan
dalam KIPP.

Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan mereka, antara lain
Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya
harus dibagi. Sebagian untuk meningkatkan perlawan­an-"la lutta
continua!"-dan sebagian menggagalkan usaha tentara Soeharto mematahkan
bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.

Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun
kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk
ope­rasi penyebaran informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami
sebut "Tim Blok M". Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik
bertemu dengan link PRD": Andi Arif dan Bambang Ekalaya. Kemudian
Herman-meskipun saya tak mengenalnya betul sebagaimana ia tak akan mengenal
saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami
tertangkap dan dipaksa buka mulut.

Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak
hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan
Rusdianto-semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang
tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo,
dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam testimoninya
kemudian, sebagai "kuil penyiksaan Orde Baru".

Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua
nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama dapat
disembu­nyikan satu tim teman-teman, juga kemudian lenyap.

Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam
penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya
mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik
pun menyengat dari paha sampai dada. "Allahu akbar!" ia berteriak. Tapi
mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat
napasnya putus. Tersengal-sengal.

Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah
tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah
pulang. Para pejuang dalam sajak Hr. Bandaharo berkata "tak berniat pulang,
walau mati menanti". Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: "Herman
sudah memilih untuk hidup di gerakan", sebab Indonesia, tanah airnya,
membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?

Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang
saya kenal. Tak ada Herman.

Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar: