Yang terhormat Eyang PDS Mohon untuk di daftarkan teman kita ke milis alumni PIKA Nama : William Purnomo Angkata : 33 Email : will_axl_ros3@yahoo.com matur suwun |
Selasa, 30 Juni 2009
Re: [Alumni-PIKA] tolong di add
Jumat, 26 Juni 2009
Fw : Promo No Admin AirAsia
From: "ken_lanang" <ken_lanang@yahoo.com>
Barangkali saja ada yang belum tahu...
AirAsia menyelenggarakan promo 'No Admin'
pembelian tiket 24-28 Juni 2009
periode terbang 1 oktober 2009 - 30 april 2010
jogja-jakarta PP cuma IDR 12 rebu net!!!
jakarta-surabaya sekali jalan 61 rebu net!!
saya yang sering pake jalur2 itu langsung kalap
lumayan 12 rebu rupiah bisa wira-wiri jogja-jakarta numpak montor mabur.
rute jogja-jkt-bangkok-jkt-jogja cuma 860 ribu net,
saya sudah dapat solo-kl-hanoi + hochimin-kl-soli cuma 925 rebu :D
(saya bukan karyawan airasia atau biro iklannya loh)
Kamis, 25 Juni 2009
Fw:Promo No Admin AirAsia
From: "ken_lanang" <ken_lanang@yahoo.com>
To: <indobackpacker@yahoogroups.com>
Sent: 25 Juni 2009 14:20
Subject: [indobackpacker] Promo No Admin AirAsia
Barangkali saja ada yang belum tahu...
AirAsia menyelenggarakan promo 'No Admin'
pembelian tiket 24-28 Juni 2009
periode terbang 1 oktober 2009 - 30 april 2010
jogja-jakarta PP cuma IDR 12 rebu net!!!
jakarta-surabaya sekali jalan 61 rebu net!!
saya yang sering pake jalur2 itu langsung kalap
lumayan 12 rebu rupiah bisa wira-wiri jogja-jakarta numpak montor mabur.
rute jogja-jkt-bangkok-jkt-jogja cuma 860 ribu net,
saya sudah dapat solo-kl-hanoi + hochimin-kl-soli cuma 925 rebu :D
(saya bukan karyawan airasia atau biro iklannya loh)
Kamis, 18 Juni 2009
Tentang Sekolah Bertaraf Internasional
Tentang Sekolah Bertaraf Internasional
Undang-Undang Sisdiknas 2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD.
Kebijakan ini pun kemudian "rame-rame" direspons oleh sekolah-sekolah di Tanah Air. Syamsir Alam (2008) menyebut pada tahun 2004/2005, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta.
Sebagaimana diketahui, program Cambridge A Level merupakan golden standard-nya Cambridge International Examination (CIE) yang sertifikatnya sudah diakui sejumlah universitas unggulan (ivy league) mancanegara, seperti University of Cambridge, Oxford University, Harvard University, MIT, dan Stanford University. Kelebihan lain dari program ini adalah pembelajaran dan penilaian Cambridge IGCSE lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, menumbuhkan pemikiran kreatif, dan autentik (contextual learning).
Saat ini sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60).
SBI Pemicu Kesenjangan
Sebenarnya inti dari SBI ini adalah semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural. Guru dalam SBI didesain sebagai sosok yang sangat paham makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajar an rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah.
Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan berani menghadapi risiko.
Meskipun SBI ini merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia, namun tak bisa dipungkiri ada beberapa hal yang cukup merisaukan dengan berkembangnya SBI ini di Indonesia.
Pertama, munculnya kesenjangan di antara peserta didik. Jika SBI ini diterapkan dengan pembiayaan penuh dari pemerintah dan diperuntukkan seluruh siswa di Indonesia, mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Sekolah-sekolah yang mulai membuka "jalur" SBI ini nyatanya memungut dana belasan juta rupiah bagi setiap siswa yang ingin masuk jalur ini.
Di Bogor misalnya, untuk bisa masuk SMP berlabel SBI, orang tua siswa harus menyetor sekitar Rp 12 juta sebagai dana masuk, belum lagi SPP bulanan dan biaya lainnya yang tentu untuk mengejar standar internasional butuh dana tidak sedikit. Untuk SMA lebih besar lagi. Mahalnya kelas SBI jelas hanya bisa dijangkau oleh orang tua berpenghasilan besar. Jika demikian bagaimana dengan siswa cerdas yang orang tuanya hanya pedagang sayur, tukang becak, atau buruh cuci, tidakkah siswa ini berhak mengenyam SBI? Tidakkah mereka berhak atas masa depan yang cerah dengan mencicipi pendidikan berkualitas?
Belum lagi efek psikologis yang bakal diderita siswa lain di luar kelas SBI. Betapa tidak, dalam satu sekolah yang sama, pagar dan gedung yang sama harus dibedakan statusnya sebagai siswa SBI yang notabene berkelas/keren, dengan siswa berstatus biasa. Ini yang terjadi dengan salah satu SMA di Bogor, di mana siswa-siswa dari orang tua berduit begitu melaju dengan berbagai program pembelajaran kelas internasional, sementara tak sedikit rekan mereka yang hanya bisa "melongo" menyaksikan ketidakadilan nasib.
Terkesan Buru-buru
Kedua, terobosan ini terkesan buru-buru dijalankan Depdiknas. Ini tampak dari munculnya berbagai problem manajemen tatkala kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah.
Akibatnya, pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduktif, dan kehilangan arah. Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tercermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini malah hanya membawa kecemasan baru di masyarakat. Semestinya Depdiknas terlebih dulu melakukan pemetaan, pengkajian dan persiapan dari segala sisi sebelum menggulirkan program tersebut, sehingga keresahan tak menjalar di masyarakat.
Niat pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air memang patut kita berikan apresiasi. Namun, pemerintah jangan hanya sebatas menggulirkan target-target pencapaian makro yang dilengkapi dengan paket-paket kebijakan umum, namun kemudian melempar tanggung jawab pelaksanaan (termasuk aspek pendanaan) kepada masyarakat. Karena hal itu pada akhirnya tidak saja membebani masyarakat dengan mahalnya biaya pendidikan, namun juga akan menciptakan jurang kesenjangan, dan membiarkan anak-anak dari kalangan miskin tergilas dalam kompetisi lantaran ketiadaan dana.
Jika sudah demikian maka lingkaran kemiskinan pengetahuan akan terus berputar-putar di dalam arena kehidupan orang-orang tak berpunya. Kesempatan untuk memperbaiki nasib melalui pendidikan tidak akan pernah terwujud karena lagi-lagi mereka harus menerima nasib sebagai orang miskin yang tak bisa mengenyam pendidikan mahal.
Sebenarnya kualitas pendidikan itu yang ingin diraih, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan berkualitas di negeri ini identik dengan biaya mahal. Kecuali jika pemerintah mau mengubah paradigma itu.
FAHMI FAHRIZA
Direktur KALAM Center Bogor.
Sumber: Sinar Harapan, Selasa 12 Mei 2009
http://www.sinarharapan.co.id/detail/article/tentang-sekolah-bertaraf-internasional/
Siswa Miskin dan sekolah
http://jawapos.
[ Selasa, 16 Juni 2009 ]
Siswa Miskin Tak Perlu Mimpi RSBI
Oleh: Nadlifah Hafidz
Di negara ini, siswa tak boleh atau ''diharamkan'
Memang, ada saja cerita soal anak miskin berprestasi atau masuk sekolah atau perguruan tinggi ternama. Tapi, mereka bisa sampai ke sana tidaklah dengan gratis. Mereka bisa berprestasi cemerlang didukung oleh semangat atau kegigihan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya mampu mengisi ranah sejarah sebagai ''orang''.
Tantangan yang dihadapi siswa miskin, selain kompleks, juga berat. Hal itu lebih berelasi pada akar kemiskinan yang mengimpitnya. Kalau saja mereka tidak masuk golongan ''anak-anak akar rumput'', tentulah apa yang seharusnya menjadi problem tidak jadi hambatan yang membelenggu atau menistanya.
Kalau orang kaya punya logika borjuistis dan kapitalistis dalam menyekolahkan anak-anaknya, orang miskin menyekolahkan anak-anaknya berdasar sisi pragmatisme. Komunitas elite ekonomi memperlakukan sekolah ibarat ''pasar'' yang wajib hukumnya direbut dengan pertaruhan segala kemampuan ekonomi serta harga diri.
Sementara itu, orang miskin bermaksud menyekolahkan anaknya supaya kelak anaknya itu bisa menjadi elemen strategis bangsa yang sukses menjadi pembebas, bukan sebagai generasi parasit yang membenani masyarakat, keluarga, serta negara.
Sayangnya, kondisi disparitas di negeri ini, tampaknya, masih tetap berlangsung dan bahkan semakin tajam. Komunitas elite (kaya) bisa memilih sekolah sesuka hati. Bahkan mampu menjadikan sekolah itu sebagai objek ''olimpiade keserakahan'
Mereka bermaksud mengisi ranah sebagai ''upper class'' atau kelas pemenang lewat sekolah-sekolah yang ''terjual'' di masyarakat. Semakin banyak sekolah bertarif mahal yang dijual atau ''diolimpiadekan'
Produsen sekolah, yang bisa membaca peta mentalitas komunitas elite, terus bereksperimen dengan mengumpankan model-model sekolah yang bisa menarik minat konsumen elite tersebut. Produsen itu bahkan mengemas sekolahnya dengan menghadirkan output pendidikan bermerek luar negeri, kendati output itu sebenarnya tidak mengambil profesi di bidang edukatif (sebagai guru).
***
Ketika proyek rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) mengisi ranah publik, kelompok elite di masyarakat langsung memburu. Tidak ada RSBI yang kehabisan kuota pendaftaran. Mereka itu tidak memperhitungkan berapa pun biaya yang dikeluarkan untuk mengisi donasi RSBI, asalkan anaknya bisa masuk. Uang jutaan rupiah sudah pasti menjadi bagian dari syarat yang menentukan masuk RSBI.
Kondisi tersebut tentu saja membuat disparitas di jagat pendidikan sangat mencolok. Di satu sisi, komunitas elite bisa menjadikan RSBI sebagai objek ''olimpiade'
Penyelenggara RSBI bisa saja berdalih bahwa RSBI bukan hanya untuk komunitas elite atau siswa kaya, tapi juga untuk siswa miskin yang mempunyai prestasi akademik bagus dengan beasiswa. Namun, belum ditemukan, setidaknya belum terpublikasikan, bahwa RSBI yang memberi jasa siswa miskin benar-benar menggratiskan semua lini pembiayaan.
Menyikapi realitas itu, komunitas miskin tidaklah selayaknya memaksakan memburu RSBI. Pertama, daripada mengeluarkan biaya yang tergolong sangat besar (untuk ukurang orang miskin), lebih baik uang yang dimiliki digunakan untuk mendukung atau menopang kepentingan lainnya. Era multikrisis yang selalu dihadapi orang miskin membutuhkan persiapan uang untuk berjaga-jaga.
Realitas tersebut diperparah turunnya anggaran untuk bantuan siswa miskin. Meski porsi anggaran pendidikan sudah 20 persen dari APBN, itu tidak otomatis mendongkrak bantuan untuk siswa miskin jenjang SMA. Sebaliknya, tahun ini (2009), anggaran bagi siswa miskin justru anjlok. Subsidi pemerintah melalui bantuan khusus murid (BKM) turun menjadi Rp 194 miliar. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pemerintah mengalokasikan dana rata-rata Rp 242 miliar.
Kedua, memaksakan anak masuk ke RSBI, bagi orang miskin, ibarat menciptakan ''dunia baru'' yang tentu saja berbeda dari dunia anak-anak dari kalangan miskin. Mereka bisa bertemu berbagai bentuk gaya, penampilan, atau pola hidup yang berkemasan menonjolkan ''selebritas'
Ketiga, RSBI masih merupakan produk sekolah bersifat ''eksperimen'
*). Nadlifah Hafidz , pekerja di sebuah lembaga penerbitan dan peneliti masalah anak-anak serta perempuan
Senin, 15 Juni 2009
Persepsi Salah Ban Baru
Di Majalah Autobild edisi terakhir, ada artikel yg cukup menarik dengan
judul "Persepsi Salah Ban Baru". Selama ini kalau kita membeli dua buah
ban baru pasti orang toko ban atau mungkin kita sendiri meminta ban baru
ditempatkan di roda depan. Hal ini sudah sangat wajar dan umum terjadi.
Asumsinya memang masuk akal, roda depan mempunyai peran penting untuk
mengarahkan kendaraan, apalagi kalau mobil berpenggerak roda depan tentu
pilihan ini akan lebih meyakinkan. Namun taukah Anda..? ternyata menurut
produsen ban, JUSTRU BAN BARU HARUSNYA DILETAKKAN DI BELAKANG. Alesannya
"Daya cengkram yg baik di roda depan akan membuat mobil mudah mengalami
gejala oversteer, terutama ketika jalan basah.
Untuk membuktikan argumen tersebut, tim autobild Indonesia melakukan
test di Proving Ground Bridgestone Indonesia. Dan hasilnya : Saat ban
baru diletakan di roda depan, mobil dikendarai 60km/jam kemudian
dilakukan manuver/belok mendadak, ternyata mobil mengalami oversteer dan
sulit dikendalikan. Kemudian ketika ban baru diletakan dibelakang
terjadi gejalan understeer namun tidak berlebih dan mobil masih bisa
dikendalikan. Hal ini membuat fakta baru, bahwa ketika mengganti 2 buah
ban baru maka harus diletakan dibelakang bukan didepan, dengan alasan
bahwa oversteer akan jauh lebih berbahaya ketimbang understeer. Percaya
atau tidak, itulah hasil test Autobild Indonesia, Oh ya test dilakukan
dijalan kering dan dengan kecepatan 60km/jam. Kebayang kalau jalan basah
dan kecepatan lebih tinggi...?
Sumber : Autobild Indonesia
Minggu, 14 Juni 2009
Tiket Murah Emirates & naik Airbus 380 Super jumbo ..
Rabu, 10 Juni 2009
Re: [Alumni-PIKA] [PDS Post] Susu Sapi Bukan Untuk Manusia
Untuk Harsoyo....Ya wis kalau dah nurut, tapi yang penting diakhir kalimatnya PDS kok kita diwajibkan makan yang enak supaya pikiran dan hati senang....maksudnya gimana pak PDS....padahal kita kan masih senang makan daging yang banyak daripada makan nasi yang banyak.....gimana nich pemecahannya.Kalau makannya sayuran tok lemes donk. Salam Muljono Sutedjo --- On Wed, 6/10/09, Harsojo Wignjowargo <harsojo@wignjowargo.com> wrote:
|
Selasa, 09 Juni 2009
Susu Sapi Bukan Untuk Manusia
Catatan Dahlan Iskan
Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu –
kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah
tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti
menyalahi perilaku yang alami seperti itu ?
"Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya," ujar Prof
Dr Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme
(Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul
yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk
untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana
anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu
manusia, katanya.
Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi
penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika
masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi
dengan enzim yang diproduksi mulut kita.
Akibat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat.
Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali
dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa mengeluarkan cadangan "enzim
induk" yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk
pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang. Namun, karena enzim induk
terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu, peminum susu akan
lebih mudah terkena osteoporosis.
Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka
di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan
tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun.
Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia
sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia
Amerika dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama
kariernya sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.
Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan
penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan
kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya
berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia
sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.
Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan
makanan/minu man yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul,
bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet
gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus.
Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat
bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.
Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia
lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan
saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak.
Akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat
jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat
menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan
kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang
kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.
Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan.
Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh
makanan yang masuk ke perut.
Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa,
keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabk an. Misalnya, dia minta kita
menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak
makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti
bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen
dari seluruh makanan yang kita perlukan.
Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang
kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh
mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang
tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.
Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan
itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang
agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih
penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara
sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan
yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar
air sudah sempat diserap usus lebih dulu.
Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan.
Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga menganjurkan agar
setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam
kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau
semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang
umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.
Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah
diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang
tersimpan di dalam "lumbung enzim-induk". Enzim-induk ini setiap hari
dikeluarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim
sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke
perut, semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia,
adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.
Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan
langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah
dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal
makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang
sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi
yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan
pun demikian.
Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah
persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau
makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau
makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi,
katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu
memerlukan enzim yang banyak.
Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah.
Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi
keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang.
Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari
lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu
harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras
lumbung enzim.
Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu
dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum
pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia
juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa.
Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke
dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.
Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan "pengobatan" seperti itu.
Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan
dengan "pengobatan" alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta
mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan.
Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang
sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh
secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal,
penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dokter
spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu
kedokteran yang sesungguhnya.
Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru
bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun
lagi sebulan ke depan.
Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan
makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah
senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa
membuat enzim-induk bertambah. Nah... gan pei!
Senin, 08 Juni 2009
Fw: Depkominfo : Email Prita Bukan Penghinaan
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/06/07/17491742/depkominfo..email.prita.bukan.penghinaan
Minggu, 7 Juni 2009 | 17:49 WIB
*JAKARTA,KOMPAS.com-*Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)
menegaskan bahwa tindakan Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhan atas
jasa sebuah layanan publik bukanlah merupakan penghinaan.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, Gatot S Dewa Broto, di
Jakarta,
Minggu (7/6) mengatakan, Prita yang mengungkapkan keluhan terhadap suatu
layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang konsumen.
Menurut dia, hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf d. Pasal
itu berbunyi "Hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan." "Oleh karena itu, unsur `tanpa
hak` sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi tidak
terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk
kasus ini," katanya.
Secara khusus pihaknya menyampaikan sikap simpati yang mendalam atas
musibah
yang diderita oleh Prita Mulyasari. Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi sebagai berikut:
"Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
"Pasal tersebut memuat unsur `dengan sengaja` dan `tanpa hak`. Unsur
tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal
ini," katanya.
Menurut Gatot, sejak berlakunya UU ITE, Departemen Kominfo telah melakukan
sosialisasi secara intensif kepada para penegak hukum dan masyarakat,
mengingat peraturan perundang-undangan ini memiliki domain baru yang
sifatnya sangat virtual.
"Dan sosialisasi tersebut akan terus dilakukan dan ditingkatkan. Di samping
itu, kepada warga masyarakat juga diberikan hak dan kesempatan untuk
mengevaluasi, mencermati, dan mengkritisi UU tersebut pasal demi pasal
sekiranya terdapat substansi yang bertentangan dengan UUD 1945," katanya.
Kesempatan tersebut, telah dimanfaatkan oleh beberapa warga masyarakat
untuk
mengajukan peninjauan kembali (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi
terhadap Pasal 27 UU tersebut, namun kemudian dalam keputusannya pada
tanggal 5 Mei 2009, Mahkamah Konstitusi menolaknya.
*ONO*
*Sumber : Ant*
Fw: Cuci darah gratis
From: "grace ekanegara" <gracehendra@yahoo.com>
Subject: [ApiK] Cuci darah gratis
Dari milis sebelah, siapa tahu membantu . . . . . . .
- - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - -
Cuci Darah Gratis
Dear All,
Akan dibuka Klinik Hemodialisis Lions di Pluit (dekat Pluit Mega Mal,
sebelah SMA IPEKA) pada tanggal 26 Juni 2009. Dari tanggal 26 Juni 2009
(Selama 7 hari) akan diadakan cuci darah gratis untuk 10 pasien per
hari. Untuk informasi lengkap dan alamatnya silahkan hubungi Ibu Lenny
di nomor telepon 021-6627657.
Setelah program cuci darah gratis, Klinik Hemodialisis Lions akan
melayani pasien cuci darah dengan harga Rp. 450.000 (reuse) dan Rp.
550.000 (Single Use), dilengkapi dengan ruangan yang baik, Dokter Ahli
Ginjal yang berpengalman dan menggunakan mesin yang modern.
Tolong berita ini bisa diforward kepada teman- teman barangkali bisa
membantu pasien yang membutuhkan cuci darah gratis.
Salam,
AJP
Rabu, 03 Juni 2009
Prita : Saya Pengin Pulang...
Rabu, 3 Juni 2009
Dunia maya mengubah wajah dunia, e-mail hingga Facebook menjadi sarana
untuk menciptakan masyarakat madani. Namun, di Indonesia, ibu muda bernama
Prita Mulyasari (32) justru dipenjara karena curhat melalui e-mail....
Berkerudung, dipadu celana jeans dan memangku dua bocah cilik berwajah
ceria. Itulah sosok Prita yang dapat dilihat pengguna internet di seluruh
dunia. Prita bukan sekadar sosok ibu rumah tangga di sebuah negara
berkembang.
Prita adalah satu dari sekian juta orang Indonesia yang memiliki kesadaran
berinteraksi di dunia maya. Sayang, kesadaran berinteraksi di dunia maya
justru menjerumuskan Prita ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang,
Banten.
Sejak 13 Mei 2009, kehidupan Prita sebagai ibu dua anak balita sekaligus
karyawan dicabut begitu saja. Semua berawal dari e-mail pribadi yang
dikirim pada 15 Agustus 2008 berisi keluhan Prita atas layanan di Rumah
Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang.
"Tanpa pemberitahuan akan ditahan, saya dijemput petugas kejaksaan dan
tidak diizinkan pulang kembali untuk berpamitan dengan anak-anak. Hingga
kini anak-anak diberi tahu saya sedang sakit. Mereka tidak tahu ibunya
dipenjara," kata Prita diiringi isak tangis saat ditemui di LP Wanita
Tangerang, Selasa (2/6) siang.
Hari itu genap tiga minggu dia dibui karena dianggap melanggar Pasal 310
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman pidana Pasal 27 Ayat 3 UU ITE itu tidak main-main. Ibu rumah tangga
penulis e-mail itu diancam penjara hingga enam tahun!
Benang kusut bermula dari tersebarnya e-mail pribadi itu yang akhirnya
beredar luas di dunia maya. E-mail itu antara lain menceritakan pengalaman
Prita yang merasa tidak mendapatkan informasi pasti atas pelayanan medis di
RS Omni Internasional.
"Ada beda informasi mengenai hasil tes laboratorium saat dirawat di sana.
Saya malah mengalami bengkak di tangan, muka, dan mata dan tidak sembuh
setelah dirawat empat hari. Akhirnya keluarga memaksa saya dipindahkan,
dirawat di sebuah rumah sakit di Bintaro," kata Prita menjelaskan awal
persoalan, yang sebagian dituangkan di dalam e-mail yang dianggap
bermasalah itu.
Merusak nama baik
Pengacara RS Omni Internasional Alam Sutra, Risma Situmorang, mengatakan,
Prita telah merusak nama baik kliennya. Menurut Risma, RS Omni pernah
meminta Prita menarik pernyataannya yang tertulis dalam e-mail dan beredar
di beberapa mailing list. Namun, hal itu tidak dipenuhi Prita. Akibatnya,
kliennya mengajukan tuntutan sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Orang berhak menggunakan haknya, tetapi jangan sampai melanggar hak
subyektif orang lain. Ini yang mendasari laporan pidana dan gugatan RS Omni
kepada Prita," kata Risma.
Demi membela nama baiknya, selain mengajukan tuntutan hukum, manajemen RS
Omni terpaksa membuat surat klarifikasi bantahan melalui dua surat kabar
nasional, yaitu Kompas dan Media Indonesia, pada 8 September 2008.
Klarifikasi itu secara spesifik menanggapi e-mail Prita yang dikirimkan ke
beberapa teman pada 15 Agustus 2008.
Prita dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama
baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang
pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta
Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1
miliar.
Selanjutnya, pada 11 Mei 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan
gugatan RS Omni. Putusan perdata menyatakan Prita terbukti melakukan
perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Hakim memutuskan Prita membayar
kerugian materiil sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di
koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil.
Prita, warga Vila Melati, Serpong, Tangerang, ini mengajukan banding dan
akan kembali ke ruang sidang pada 4 Juni mendatang.
Hak paling dasar
Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Nur Kholis, saat mengunjungi Prita, menyatakan, persoalan antara
Prita dan RS Omni kalaupun ada merupakan masalah hukum perdata. E-mail yang
ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan
manusia di sebuah negara beradab.
"Kalau dianggap ada persoalan hukum, harus dibatasi pada ranah perdata.
Yang lebih penting lagi, keberadaan e-mail adalah salah satu sarana untuk
kebebasan mengemukakan pendapat bagi warga negara yang dilindungi
konstitusi dan piagam HAM dunia. Tidak pada tempatnya tindakan hukum pidana
dalam persoalan ini," kata Nur Kholis.
Nur Kholis menegaskan, kasus Prita bisa menjadi preseden buruk atas
penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.
Aktivis blogger, Iwan Piliang, seusai mengunjungi Prita menyatakan, sudah
ada 15.000 dukungan di Facebook terhadap Prita. "Aturan yang dikenakan
kepada Prita sangat bertentangan dengan norma hukum yang berlaku di dunia.
Undang-undang di Indonesia justru dibuat untuk menekan warga," kata Iwan
Piliang.
Prita, ibu dari Khairan Ananta Nugroho (3) dan Ranarya Puandida Nugroho (1
tahun 3 bulan), menunggu jalan panjang menanti ke mana "Pedang Damocles"
diayunkan. Sejak ditahan, kedua anaknya kehilangan sentuhan ibu dan kini
diasuh oleh ayahnya, Andri Nugroho, yang bekerja di perusahaan asuransi.
"Saya pengin pulang. Saya ingin dekat dengan anak-anak," kata Prita sambil
terus terisak.
Prita yang dibui adalah potret kelas menengah yang diharapkan menjadi agen
perubahan damai sebuah bangsa Indonesia yang konon sedang bereformasi....
Sumber : Kompas Cetak
Selasa, 02 Juni 2009
MARI KITA DUKUNG IBU PRITA MULYASARI
From: "S1D" <s1ddh4rta@gmail.com>
Untuk Support nya:
http://apps.facebook.com/causes/290597?m=0aca965b
==========================
http://www.detiknews.com/read/2009/06/02/120204/1141289/10/bebaskan-prita-gencar-di-facebook
Selasa, 02/06/2009 12:02 WIB
Menulis di Internet Dipenjara
'Bebaskan Prita' Gencar di Facebook
Nurul Hidayati - detikNews
Jakarta - Obrolan hangat di kalangan 'aktivis' milis atau pun blogger
saat ini adalah Prita Mulyasari. Ibu dua anak yang masih kecil-kecil itu
ditahan di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei lalu dengan tuduhan
pencemaran nama baik RS Omni International Tangerang lewat internet.
Penahanan Prita yang diadili 4 Juni mendatang itu dinilai berlebihan.
Alhasil, 'penggiat' internet pun ramai-ramai membelanya, termasuk lewat
Facebook.
Support itu bertajuk "DUKUNGAN BAGI IBU PRITA MULYASARI, PENULIS SURAT
KELUHAN MELALUI INTERNET YANG DIPENJARA" . Hingga pukul 11.30 WIB,
Selasa (2/6/2009) grup ini telah memiliki 5.910 member. Grup ini
menargetkan mengumpulkan 7.500 member.
Aspirasi kelompok perjuangan ini adalah 'Bebaskan Ibu Prita Mulyasari
Dari Penjara dan Segala Tuntutan Hukum' dengan 3 poin:
1. Cabut segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik
karena sering disalahgunakan untuk membungkam hak kemerdekaan
mengeluarkan pendapat
2. Keluhan/curhat ibu Prita Mulyasari thd RS Omni tidak bisa dijerat
dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
3. Keluhan/curhat Ibu Prita Mulyasari dijamin oleh UU No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
4. RS Omni hendaknya memberikan HAK JAWAB, bukan melakukan tuntutan
perdata dan pidana atas keluhan/curhat yg dimuat di suara pembaca dan di
milis2
Kisah tragis Prita ini dimulai ketika Prita menulis keluhannya lewat
email ke sejumlah rekannya pada medio Agustus 2008 setelah komplainnya
kepada pihak RS tidak mendapat respons memuaskan. Isinya kekesalan Prita
pada pelayanan RS Omni yang telah dianggapnya telah membohonginya dengan
analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam
dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Prita juga
menyesalkan sulitnya mendapatkan hasil lab medis.
Tak dinyana, tulisan Prita menyebar ke berbagai milis. Pihak RS Omni
telah menjawab tulisan Prita lewat milis dan memasang iklan di media
cetak. Tak cukup itu, RS itu juga memperkarakan Prita ke pengadilan.
Prita dijerat dengan UU Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE) dengan
hukuman maksimal 6 tahun atau denda Rp 1 miliar. (nrl/iy)