Penghormatan kepada Korban
Kamis, 10 Desember 2009 | 03:31 WIB
B Josie Susilo Hardianto dan Ichwan Susanto
"Saya memberikan penghargaan ini kepada rakyat Papua yang menjadi korban
pelanggaran hak asasi manusia," ujar Pater Yohannes Jonga Pr (51). "Penghargaan
ini juga merupakan pengakuan kepada mereka yang berkarya bagi kemanusiaan
dan hak asasi manusia di Papua."
Pater John, demikian ia disapa, bertutur pelan setelah menerima kabar bahwa
ia dipilih Dewan Juri Anugerah Yap Thiam Hien 2009 sebagai penerima
penghargaan penting di bidang hak asasi manusia di Indonesia itu.
Pater John, kini dekan pada Dekanat Keerom Keuskupan Jayapura, tak pernah
membayangkan penghargaan. Ia bahkan tidak tahu tentang Anugerah Yap Thiam
Hien meski ikut menghadiri syukuran Mama Yosepha Alomang di Timika, yang
menerima anugerah itu pada tahun 1999.
Ia bekerja semata-mata karena rasa cinta yang mendalam kepada orang asli
Papua yang didampinginya sejak 23 tahun lalu, dalam berbagai situasi yang
amat berisiko.
Papua selama hampir empat dekade adalah lokasi pelanggaran hak asasi
manusia yang "paling sempurna", baik dari negara, melalui aparat militer,
maupun dari aparat pelindung korporasi ekstraksi yang menguras sumber daya
alam Papua.
Kekerasan tersebut dialami berlapis oleh perempuan. Hasil dokumentasi
bersama Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) dan kelompok masyarakat Papua menemukan pola kekerasan terhadap
perempuan, yang mencakup kekerasan oleh aparat, kekerasan akibat perampasan
sumber daya alam, dan kekerasan dalam rumah tangga yang diperparah oleh
masuknya minuman keras serta pengelolaan dana otonomi khusus yang tidak
tepat sasaran.
Ketakutan mempertanyakan hak-hak warga negara itu ada hubungannya dengan
stigma politik karena dikaitkan dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka,
yang membuat Papua menjadi daerah operasi militer (DOM) selama puluhan
tahun.
Transenden
Keberanian Pater John menghadapi berbagai ancaman demi hak-hak asasi orang
asli Papua mengingatkan kepada perjuangan para padri di banyak negara di
Amerika Latin pada masa pemerintahan otoriter.
Keterlibatannya menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia kerap
menempatkannya dalam posisi berbahaya, bahkan ancaman kematian. Seperti
ditulis media lokal, seorang oknum militer pernah mengancam akan mengubur
Pater John hidup-hidup 700 meter di bawah tanah.
Rentetan ancaman itu tak menyurutkan langkah Pater John. "Prinsip saya,
siapa pun manusia, kalau nyawanya terancam, kita wajib melindungi dan
memberi bantuan, tanpa memandang ideologi, ras, dan keyakinan," ujarnya.
Pater John menginjakkan kaki ke Lembah Baliem, Papua, ketika berusia 28
tahun dan memulai karyanya sebagai katekis. Saat turun di Lapangan Terbang
Wamena, ia melihat orang-orang asli Pegunungan Tengah yang mengenakan
koteka berjajar di pinggir lapangan terbang menawarkan bantuan sebagai
pembawa barang. Sesosok lelaki tua mendekatinya dan menawarkan tenaga untuk
membawakan barangnya ke pastoran, tanpa imbalan.
Pelajaran dari lelaki tua tersebut mengisi pergumulan spiritual John selama
empat tahun pertama tugasnya sebagai katekis. Di Wamena itulah ia mulai
kerap mendapatkan pengaduan warga tentang sikap dan tindakan oknum aparat.
Teror dan intimidasi mulai menderanya.
"Gerak sedikit sudah dianggap mendukung Papua merdeka," ujarnya.
Stigma
Sejak bertugas di Keerom—wilayah yang dicap aparat sebagai salah satu basis
kekuatan Tentara Pembebasan Nasional OPM—tahun 2000, Pater John harus
terlibat dalam mediasi konflik antara warga dan aparat. Ia bahkan sempat
dicap sebagai pastor OPM saat bertugas di Waris Keerom, garis depan
perbatasan Papua-Papua Niugini (PNG).
Stigma itu semakin pekat saat ia dengan gigih mendampingi Isak Psakor (13),
korban penembakan yang diduga dilakukan oknum aparat di perbatasan. Anak
itu baru kembali dari perbatasan, mengikuti keluarganya yang hendak
menyelesaikan urusan tanah adat. Ia dikejar anjing tentara, naik pohon, dan
ditembak dari jarak jauh. Satu parunya dirobek peluru. Kondisinya kritis.
Pater John membantu advokasi kasus itu bersama Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Papua, Aliansi Demokrasi untuk Papua,
serta Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura setelah
melaporkan peristiwa itu ke Lembaga Bantuan Hukum Papua. Identitas
pelakunya kemudian terkuak, tetapi sampai sekarang tidak diadili.
Altar di lapangan
Pater John menjadi Ketua Delegasi Masyarakat Kabupaten Keerom—yang terdiri
dari tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pemangku adat—untuk berangkat ke
Jakarta, menemui Menteri Agama Maftuh Basyuni, menyampaikan penolakan hasil
tes calon pegawai negeri sipil di Kantor Wilayah Departemen Agama Papua
tahun 2008. Hasil tes dinilai tidak mengakomodasi sumber daya manusia
Keerom yang siap dan mampu bekerja.
Berbagai isu pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan berbasis jender, dan
kesetaraan hak keberwargaan menarik Pater John untuk terlibat secara penuh.
Ia memaknai penahbisannya sebagai imam dalam gereja Katolik sebagai
panggilan untuk berkarya bagi semua orang, tanpa sekat imajiner yang
diciptakan oleh berbagai kepentingan.
Persoalan sosial harus menjadi yang terdepan dalam perjuangan itu. "Karya
pastoral tidak terbatas pada perayaan ekaristi," ungkapnya, "Lebih dari
itu, harus turut terlibat dalam keprihatinan dasar manusia."
Pater John menghidupi pilihan itu seperti menapaki perjalanan terjal
dipenuhi onak. Pembelaan terhadap kemanusiaan dan hak asasi manusia tak
jarang dituduh sebagai bagian jaringan atau gerakan untuk menjatuhkan
Indonesia di mata internasional.
"Susah melihat persoalan kemanusiaan dalam situasi seperti di Papua. Semua
kehendak baik senantiasa dicurigai, sementara rakyat terus-menerus hidup
dalam ketakutan dan ancaman," lanjutnya.
Ia mengatakan, apa yang dia lakukan hanyalah bagian dari upaya merawat
kehidupan di tengah situasi sosial yang kacau-balau, korup, dan penuh
ketidakpastian. Dengan demikian, kehadiran Pater John di Papua bisa
dimaknai sebagai kehadiran sesama warga bangsa untuk memperjuangkan
kesetaraan hak-hak keberwargaan.
Anak keenam dari delapan bersaudara keluarga petani di Manggarai, Flores,
Nusa Tenggara Timur, itu telah mengingatkan bahwa altar tak lagi berada di
dalam gedung-gedung gereja.
Altar tersebut kini berada di tengah medan kehidupan manusia, berhadapan
dengan para korban, untuk senantiasa menghadirkan harapan. (MH)
YOHANNES JONGA Pr
•Lahir: Manggarai, Flores, 4 November 1958
• Orangtua: Arnoldus Lete (almarhum) dan Yuliana Malon
• Pendidikan: Sekolah Tinggi Filsafat Teologia Fajar Timur, Abepura, Papua
• Ditahbiskan menjadi Imam Projo tanggal 14 Oktober 2001 di APO oleh Uskup
Jayapura Dr Leo Laba Ladjar OFM, setelah menjadi katekis sejak tahun 1986
dan kerja pastoral sejak 1991. Ia mendirikan Forum Perempuan Asmat pada
1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar