Tentang bangsa Yahudi dan konflik Palestina-Israel
Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak
akan selesai "ila yaum al-qiyamah", sampai hari kiamat. Satu-satunya
harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu dengan
"sadar" meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi titik-lelah itu
belum kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk melihat jatuhnya
korban terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah berkali-kali usaha
untuk mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh komunitas
internasional, tetapi gagal terus.
Masing-masing pihak mempunyai versinya masing-masing kenapa usaha
diplomatik itu gagal. Pihak Israel sudah tentu menyalahkan pihak
Palestina, sejak zaman PLO di bawah Arafat hingga sekarang ini di mana
Hamas muncul ke permukaan menggantikan popularitas PLO. Pihak Palestina
dan negara-negara Arab, kemudian diamini juga oleh dunia Islam, tentu
menyalahkan pihak Israel sebagai biang kegagalan usaha diplomatik itu.
Saat perang atas terorisme dikumandangkan oleh Presiden Bush dari
Washington, semua negara makin punya alasan untuk menjadikan momen ini
untuk meningkatkan aksi-aksi militer mereka, tentu dengan alasan untuk
memerangi terorisme. Rusia dan Cina telah melakukan itu. Kini Israel,
sebelum Bush lengser beberasa saat lagi, seperti "kejar tayang" untuk
menyelesaikan "masalah Hamas" dengan melakukan agresi besar-besaran.
Seperti sudah bisa kita duga, aksi Israel ini didukung "tanpa syarat" oleh
Presiden Bush.
Mari kita lihat konflik ini dalam perspektif yang lebih luas sehingga kita
bisa lebih "tenang" memahaminya. Tak ada dalam sejarah manusia di mana
sebuah bangsa dibenci secara sistematis, menjadi sasaran prasangka buruk,
stereo-type, rasialisme, dan persekusi seperti dialami oleh bangsa Yahudi.
Itulah sebabnya di Eropa di mana bangsa Yahudi mengalami banyak persekusi
dan diskriminasi selama berabad-abad dikenal istilah "Jewish question",
masalah Yahudi. Debat menganai "Jewish question" ini berlangsung lama
sekali di Eropa dan baru tuntas pada pertengahan abad ke-20.
Secara kuantitas, bangsa Yahudi tidaklah besar jumlahnya. Total jumlah
orang Yahudi di seluruh dunia saat ini mungkin tak lebih dari 15 juta
orang. Sebagian besar mereka tinggal di Israel dan Amerika. Selebihnya
mereka terserak-serak sebagai koloni kecil-kecil di berbagai belahan
dunia, mulai dari Eropa, Amerika Latin, Asia, termasuk di negeri-negeri
Arab sendiri. Tetapi bangsa yang kecil jumlahnya ini menjadi sasaran
prasangka buruk dan kebencian oleh banyak pihak sejak zaman dahulu.
Pertama-tama yang layak kita sebut adalah pihak Kristen. Selama
beradad-abad, bangsa Yahudi menjadi sasaran diskriminasi dari pihak
Kristen. Konflik antara Kristen dan Yahudi sudah berlangsung sejak awal,
bahkan sejak kelahiran agama Kristen itu sendiri. Pertikaian antara
orang-orang Yahudi dan Kristen bukan sekedar pertikaian politik biasa,
tetapi juga pertikaian yang dijustifikasi secara teologis melalui ajaran
agama.
Lalu datang Islam. Sejak awal, pertikaian antara Islam dan Yahudi sama
sekali tak terhindarkan. Pada saat Nabi Muhammad datang di Madinah, ada
sejumlah koloni orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Karena konflik
dengan Nabi dan umat Islam saat itu, orang-orang Yahudi ditumpas habis dan
sebagian lagi diusir secara total dari kawasan itu. Pada saat Islam
berjaya sebagai kekuatan politik di kawasan Arab pada rentang antara abad
8 hingga abad 15 Masehi, bangsa Yahudi sebetulnya menikmati suasana yang
lebih bersahabat di dunia Islam ketimbang di dunia Kristen.
Tetapi, kebencian pada Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara
endemik dalam Islam. Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam
beberapa ayat di Quran, dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis.
Contoh kecil saja: sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir
zaman nanti Nabi Isa (atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis
dengan keyakinan dalam Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada
saat itu, antara lain, adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi
orang-orang Yahudi.
Sebuah hadis lain menyebutkan bahwa dua frasa di ujung Surah al-Fatihah
(bab pembuka dalam Quran) merujuk kepada orang Kristen dan Yahudi. Dua
frasa itu adalah: "al-maghdub 'alaihim" (orang-orang yang dibenci oleh
Tuhan) dan "al-dallin" (orang-orang yang sesat). Orang yang dibenci Tuhan
maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadis itu, adalah orang Yahudi,
sementara orang-orang yang sesat adalah orang-orang Kristen. Karena
pengaruh Kitab Suci sangat mendalam pada umatnya, kita bisa membayangkan
bagaimana dua frasa yang diulang-ulang setiap salat oleh seluruh umat
Islam ini memiliki pengaruh dalam membentuk prasangka buruk terhadap
bangsa Yahudi.
Baik agama Kristen atau Islam mengandung unsur-unsur ajaran yang bisa
membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi. Ini bukan kebencian biasa, tetapi
kebencian yang dijustifikasi oleh firman dan ajaran Tuhan sehingga
pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran sekali jika kebencian pada agama
dan bangsa Yahudi bertahan selama berabad-abad. Kalau kita baca sejarah,
tidak ada bangsa yang mengalami korban sebagai sasaran kebencian selama
dan seserius seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah
mereka sangat kecil sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak
sebanding dengan jumlah itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan
mudah menjadi "kambing hitam" di mana-mana. Persis seperti dialami oleh
kaum minoritas di manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan
pengambing-hitaman.
Kalau kita baca sejarah Amerika, hingga pertengahan abad 20, diskriminasi
dan perlakuan yang tak menyenangkan dialami oleh bangsa Yahudi secara
konsisten. Seorang profesor Yahudi yang pernah belajar di Universitas
Harvard dan sekarang sudah pensiun pernah bercerita pada saya bahwa hingga
tahun 60an, orang-orang Yahudi mendapat kesulitan untuk memperoleh posisi
sebagai profesor di Universitas Harvard. Menurut dia, seorang ekonom
Yahudi yang sangat kondang dan pernah memenangkan hadiah Nobel, Paul
Samuelson, ditolak lamarannya sebagai profesor di Universitas Harvard pada
tahun 40an. Menurutnya, Samuelson ditolak terutama karena keyahudiannya.
Akhirnya, MIT (Massachusetts Institute of Technology) menampung dia. Saat
di MIT itulah Samuelson mendapatkan hadiah Nobel. Saya kira, Universitas
Harvard malu dengan kejadian ini.
Di dunia Islam, jelas orang-orang Yahudi saat ini merasa kurang nyaman.
Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah
orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang
merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka.
Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi
jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum,
kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap
menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut,
kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu
sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali
karena dijustifikasi dengan ajaran agama.
Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah "antek
Yahudi" adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja
yang dianggap "memusushi" Islam -- sama kotornya dengan istilah "antek
PKI". Dulu, almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah
media kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai "antek Yahudi".
Majalah itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik:
nama Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa
maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam
belitan "ular" Yahudi.
Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya
sebuah teori konspirasi tentang "rencana Yahudi" untuk menguasai dunia.
Buku "Protocols of Zion", misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas
rahasia Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke
dunia Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan
basaha-bahasa lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak
kalangan sebagai dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah
tentang rencana bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia.
Buku semacam ini jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada
bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu.
Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu
menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul "The Jews". Beberapa tahun
yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens
memberikan saya buku itu seraya berkata, "Bapak harus membaca buku ini".
Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di
Amerika.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil
jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa
bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua
agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini,
jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari
jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya
dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang
bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan
rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi.
Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta
itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan
mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini
sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam
psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang
menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink
yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink
itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab
bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu
mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka
dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada "zaman
kegelapan" yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.
Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas
sebab kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel.
Di mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka.
Bangsa Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman
pogrom dan holocaust.
Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di
manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit,
reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi
korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara
Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa
paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini,
sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci
keberadaannya.
Kalau di awal tulisan ini saya mengtakan bahwa konflik Palestina-Israel
boleh jadi tak akan pernah selesai, di ujung tulisan ini saya ingin
mengemukakan sebuah harapan. Salah satu harapan itu adalah jika pihak
bangsa Yahudi dan bangsa Arab, terutama Palestina, bisa mengatasi "masa
lalu" mereka masing-masing. Bangsa Yahudi harus melepaskan diri dari
"mentalitas diaspora" yang membuat mereka merasa terancam terus dan selalu
mencurigai tetangga-tetanggany a. Jika mentalitas ini tak bisa diatasi,
maka negara Israel akan terus mencari musuh dengan tetangga-tetangga
dekatnya seperti kita saksikan sekarang ini.
Dari pihak bangsa Arab, tantangan terbesar adalah mengatasi "rasa
superioritas" mereka sebagai bangsa yang pernah berjaya selama
berabad-abad di kawasan Arab dan sekitarnya, dan merasa bahwa bangsa
Yahudi tak punya hak untuk mendirikan negara di tanah Palestina, sebab hal
itu akan melukai rasa superioritas itu.
Dari pihak umat Islam sendiri secara keseluruhan juga ada tantangan yang
sangat berat jika mereka benar-benar ingin ikut menyelesaikan masalah
Palestina-Israel ini. Selama ini, kita semua tahu, ajaran yang membenci
bangsa Yahudi diajarkan terus di sekolah-sekolah agama di seluruh dunia
Islam, sejak zaman klasik hingga sekarang. Waktu saya di pesantren dulu,
setiap guru saya menerangkan ayat-ayat dalam Quran yang membenci bangsa
Yahudi, maka mereka memahaminya dengan tidak kritis, sehingga secara tak
sengaja, mereka mengajarkan kebencian turun-temurun terhadap bangsa
Yahudi. Bagaimana mungkin dunia Islam mau menyelesaikan masalah
Palestina-Israel jika ajaran-ajaran yang membenci bangsa Yahudi ini terus
ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya?
Menurut saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis
yang membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga
Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan
antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam
akan berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu,
misalnya, dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari tanah
Palestina. Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar masalah
"tanah". Yang bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.
Apa yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini.
Boleh jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi
pula. Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan "fan"
atau pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan
jengkel pada tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap
bangsa Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada
diri kita sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di
kalangan umat Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil
itu. Sikap-sikap yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik
jika umat Islam memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi
Palestina.[]
Wallahu a'lam bissawab
Ulil Abshar Abdalla
Jumat, 13 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar