Rumah (yang) Sakit.
Radhar Panca Dahana
Banyak orang bilang, salah satu bisnis yang kini pasti menguntungkan
adalah mendirikan rumah sakit. Pernyataan ini menggelikan, namun bila
benar, menggiriskan.
Keuntungan dalam bisnis itu seperti memerah kebahagiaan dari
derita/tangis orang lain: menampung uang dari darah atau nanah luka yang
terbuka.
Namun, begitulah kenyataannya. Sakit dan penyakit tak ada musimnya, tak
ada grafik menurunnya di negeri penuh gejolak ini. Bahkan di saat
krisis—politik dan ekonomi—orang sakit tidak berkurang; justru
meningkat, baik yang fisis, terlebih psikis. Dan itu membuat pebisnis
kesehatan kian bergairah. Kita mafhum, banyak berita mengabarkan, dalam
situasi seperti itu, para pebisnis kesehatan masih "memainkan" bahkan
"menciptakan" varian penyakit baru demi jenis obat baru.
Kita pun sama paham, bagaimana bisnis rumah sakit kini memiliki
performa, iming-iming, atau gimmick yang tidak kalah keren ketimbang
wisata pantai, restoran mewah, atau karaoke keluarga kelas premium. Rasa
sakit, penderitaan, dijadikan motif untuk menguras lebih dalam kantong
penderita, dengan tawaran-tawaran leisure yang kadang menggelikan.
Lebih menggelikan para pelaku bisnis di negeri kita. Alih-alih
meningkatkan pelayanan medisnya kepada publik, mereka mereaksi tren
melimpahnya pasien lokal yang berobat ke luar negeri, dengan mendirikan
rumah-rumah sakit mewah berkelas internasional. Bisnis itu "dipindahkan"
dari luar ke dalam. Esensi pelayanan termanipulasi fasilitas dan harga,
dan diskriminasi pasien justru kian ditegakkan: "Hei orang miskin dan
sakit, bukan bagianmu mendapat pelayanan baik ini".
"Fait accompli" pasien
Kita, sekali lagi mengerti, siapa paling diuntungkan dari kecenderungan
ini. Dari semua aparat medis yang ada, tentu para birokrat kesehatan,
terutama para dokter, yang mengais keuntungan terbesar. Bukan hanya dari
tarif, harga obat, dan fasilitas yang disediakan. Sebagai sarjana dengan
lima tahun waktu studi, para dokter mendapat imbalan luar biasa,
berlipat-lipat dibanding kaum paramedis, misalnya, yang juga sekolah
tiga hingga lima tahun.
Mungkin dalam tanggung jawab, dokter adalah pemeran utama. Namun, dalam
praktik medis di rumah sakit, kaum paramedis inilah yang sebenarnya
menggerakkan atau mengoperasikan mesin kesehatan. Berjaga menit ke
menit, mengantisipasi situasi paling kritis di detik awal, mengayomi
pasien, termasuk diserapahi keluarganya. Namun, untuk kesejahteraan,
mungkin tiap bulan ia mendapat gaji yang didapat dokter hanya dalam sehari.
Pasien? Ia adalah obyek dari semua fait accompli. Ilustrasi kecil, saya
meminta resep bisul kepada seorang dokter spesialis. Setelah saya cek
harganya hampir Rp 300.000. Saya kembali dan bertanya, mengapa semahal
itu? Dokter menukas, "Bapak tidak percaya saya?" Saya ragu. Saya
bertanya kepada dokter lain, yang memberi resep salep. Harganya: Rp
1.600. Dengan itu, dua hari kemudian bisul saya lenyap.
Berapa banyak pasien yang ragu seperti saya. Berapa nilai uang hasil
diagnosis atau resep fait accompli itu. Ilustrasi ini lebih seru: satu
kali saya operasi mengangkat tumor di pundak. Saya diperbolehkan pulang
sesegera usai operasi, betapapun saya minta diinapkan. Belum setengah
perjalanan pulang, luka operasi terbuka dan darah mengalir. Saya
kembali. Dan dilakukan operasi ulang. Ternyata, luka tetap terbuka dan
darah tiada henti mengalir.
Saya diinapkan. Dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi:
bius total. Sebuah kondisi yang bagi saya—pemilik penyakit akut
lainnya—hanya memiliki dua opsi (menurut dokter bedah yang menjadi
kepala tim): hilang sadar total (maut) atau masuk ruang ICCU. Saya
terpana: karena kesalahan operasi saya mesti berada pada sebuah dilema
yang komikal: maut dan hampir maut.
"Di mana tanggung jawab Anda, dokter? Kondisi ini bukan saya yang
membuatnya, tapi Anda. Saya harus menerima tanpa kecuali. Saya tanggung
semua risiko. Termasuk, mati atau tidak, saya harus tetap bayar Anda,"
saya protes. Mereka tak bisa menjawab, hanya bertukas pendek, "Semua
terserah pada keputusan, Bapak."
Saya terdiam. Mereka pergi. Beberapa dokter lain saya hubungi, tak ada
advis yang melegakan. Semua bimbang. Nalar saya bergeser menjadi mistis:
menyerahkan nasib pada yang memestikannya. Dan Dia menjawab. Operasi
ketiga berlangsung 1,5 jam, terasa 1,5 detik buat saya. Saya langsung
bangkit duduk dan berjalan, begitu usai dan sadar. Keadaan yang konon
tak bisa terjadi, biarpun efek bius hilang (seharusnya) beberapa jam
kemudian.
Orang miskin
Terlampau banyak kasus semacam bisa ditulis. Di mana posisi pasien,
dirugikan seberat apa pun—hingga nyawa—tak ada pilihan. Dalam diagnosis,
dalam peraturan tiap rumah sakit yang berubah-ubah, dalam resep, dalam
biaya, dan lainnya. Beruntung bila satu-dua pasien cukup kritis, ia bisa
menemukan hak-haknya yang umumnya kabur. Bagi masyarakat awam, hanya
pasrah menerima fait accompli.
Inilah yang juga terjadi pada mereka yang sepatutnya mendapat asuransi
atau jaminan kesehatan dari negara. Mereka harus dinyatakan benar-benar
miskin untuk mendapat jaminan itu. Dan kebijakan baru menetapkan
kemiskinan itu harus diumumkan di tiap kelurahan. Masalahnya bukan harga
diri yang diobral oleh kebijakan negara, tetapi kategori "miskin"
sebagai kriteria dasar.
Orang miskin tentu membutuhkan kesehatan. Namun, tidak semua orang
miskin. Beberapa orang miskin memilih harga diri ketimbang jaminan itu.
Beberapa orang miskin tidak membutuhkan karena tidak percaya atau kecewa
pada pelayanan medis yang ada. Ada pula orang "tidak miskin" tetapi amat
membutuhkan jaminan itu, demi pelaksanaan tanggung jawab keluarga,
sosial; demi aktualisasi dan produktivitasnya.
Inilah golongan yang tidak dijamin siapa pun. Tidak oleh askes pegawai
negeri, tidak oleh askes perusahaan, juga tidak askes perusahaan
asuransi. Mereka adalah pekerja profesional dan bebas yang tidak terikat
apa pun. Seperti pekerja kreatif, atau seniman. Dibilang kaya tidak,
miskin bukan. Seorang penyair asal Medan memilih mati ketimbang harus
menjalani cuci darah yang tak tertanggung olehnya.
Kasus seperti itu menjadi obligasi sosial kita, dan negara sebagai
penanggung jawab utama. (Jaminan) Kesehatan harus diberikan kepada siapa
pun yang membutuhkan, terlebih karena itu menjadi jaminan produktivitas
serta kontribusinya kepada masyarakat. Dana jaminan dari rakyat harus
dikembalikan sesuai situasi dan proporsi. Kasus mesti diperhatikan.
Bahkan setiap kebutuhan, setiap pasien harus diperlakukan sebagai
unikum, sebagai kasus. Karena setiap penyakit pada akhirnya menyangkut
sang korban, yang notabene seorang manusia, yang pada dasarnya unik,
tersendiri. Negara mestinya paham, bahaya bila manusia ditempatkan hanya
sebagai konstanta. Apalagi dipasrahkan pada logika bisnis rumah sakit di
atas. Bisa-bisa negeri inilah rumah (yang) sakit itu.
Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang
Senin, 16 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar