Pola dan perilaku makan ketika kecil berpengaruh hingga dewasa.
"Anak gue dah obes, nih," Fenny mengeluh suatu hari. Ibu rumah tangga
berusia 36 tahun itu kewalahan menahan nafsu makan anaknya yang berlebih.
"Udah makan berat seperti nasi padang, eh dia mau camilan yang manis-manis.
Ampun, deh!" ia berkisah kepada rekan kerjanya. Kalau makan apa pun tak
cukup satu. Berat badan anak Fenny yang duduk di bangku kelas 1 sekolah
dasar itu dua kali lipat anak-anak seusianya, bahkan lebih. Dokter pun sudah
menyarankan diet dan berolahraga, tapi pelaksanaannya sulit sekali.
"Padahal kalau tidak dijaga pola makannya dari sekarang, menurut dokter
kondisi seperti itu bisa berlanjut hingga gede," kata Diah. Repotnya, apa
pun si bocah doyan. Dari sajian yang berlemak hingga yang manis. Selama ini
makanan berlemak sering kali dituduh sebagai pemicu terjadinya obesitas.
Padahal si manis pun tak kalah mengundang. Sebuah studi baru dari tim
peneliti Universitas Florida, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa konsumsi
berlebih fruktosa yang terdapat pada makanan--dari berupa kue sampai minuman
bersoda--dapat mengganggu fungsi hormon leptin, yang bisa mengakibatkan
kegemukan. Fungsi hormon ini memang telah lama dikaitkan dengan obesitas dan
sejumlah studi menunjukkan bahwa konsumsi berlebih fruktosa merupakan salah
satu faktor penting dari epidemi obesitas yang mewabah di sejumlah negara
maju.
Peneliti menemukan tikus menjadi resisten terhadap kegemukan bila selama
enam bulan mengkonsumsi sajian penuh fruktosa. Terlihat dengan timbangan
yang lebih tinggi dibanding tikus yang menjalani diet tanpa gula. Philip J.
Scarpace, guru besar farmokologi dari perguruan tinggi tersebut, menyatakan
selama ini resistensi leptin merupakan kondisi yang mengarah pada kegemukan
seekor tikus ketika diterapkan diet tinggi lemak.
"Nah, yang mengejutkan di sini adalah peningkatan jumlah fruktosa dalam
diet--tanpa menambah jumlah kalori--juga menyebabkan resistensi leptin,"
ujar Scarpace. Lantas ia menambahkan diet ketat fruktosa perlu dilakukan
jika jumlah kalori yang dikonsumsi dirasa berlebihan. Alexandra Shapiro,
ilmuwan lain dari lembaga yang sama, menyatakan fruktosa memblok fungsi
leptin yang mengontrol seseorang dari kegemukan. "Kemungkinan besar fruktosa
memblokir leptin masuk ke otak," ujarnya.
Para ilmuwan terus menggali soal kegemukan. Temuan lain yang tergolong baru
dari tim peneliti Universitas Osaka, Jepang, menyebutkan obesitas juga
terkait dengan kecepatan makan setelah melakukan studi terhadap 3.000
responden. Profesor dari Universitas Nottingham, Inggris, Ian McDonald,
mengatakan terdapat sejumlah alasan mengapa makan cepat dapat berdampak pada
berat badan. Ian menjelaskan, hal itu disebabkan oleh terganggunya sistem
isyarat yang memberi tahu otak untuk berhenti makan. "Jika Anda makan dengan
cepat, pada dasarnya Anda mengisi perut sebelum lambung sempat mengolahnya,"
ujar McDonald. Ia juga menambahkan, perilaku makan cepat itu sangat mungkin
dipelajari pada masa pertumbuhan.
Menurut peneliti, Dr Elizabeth Denney Wilson, jika memungkinkan anak-anak
memang harus didorong untuk makan perlahan-lahan dan diperbolehkan berhenti
ketika mereka merasa kenyang. "Tapi sangat tidak mungkin memberi arahan
kepada anak untuk makan perlahan dan meminta berhenti saat mereka sudah
merasa kenyang," ia menambahkan.
Dr Jason Halford, dari Universitas Liverpool, Inggris, mengatakan hasil
penelitian Jepang tersebut menunjukkan perbedaan individu dalam perilaku
makan berhubungan dengan kegemukan. "Kebiasaan makan cepat ini bisa diwarisi
sejak dini," ujarnya. Namun, kata dia, belum ada bukti jika upaya
memperlambat makan ketika masa pertumbuhan akan berdampak berupa penurunan
kegemukan di masa depan.
Menanggapi studi tersebut, dr Angela Ardhianie mengatakan kecepatan makan
belum tentu signifikan dengan kegemukan. "Bergantung pada metabolisme tubuh
dan gen," ujarnya. Jika memiliki metabolisme tubuh tinggi, kata dia, secara
biologis seseorang ada kemungkinan terhindar dari kegemukan. Studi lain
memang menyebutkan ada kaitan erat antara gen dan kegemukan. Bahkan
pengaruhnya sama besar dengan lingkungan, seperti pola makan yang buruk.
HERU TRIYONO | BBC | HEALTHDAY NEWS | MEDLINEPLUS
Rabu, 29 Oktober 2008
Kebiasaan kecil berefek besar
Kebiasaan Kecil Berefek Besar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar