Gelombang Pemecatan di Tanah Air
Ancaman gelombang pemecatan di Tanah Air mulai menjadi kenyataan. Industri-industri dari sektor elektronik, tekstil dan garmen, sarung tangan, baja, serta komponen otomotif, terutama di Jawa, bulan depan atau awal tahun depan mulai mengurangi jumlah karyawan.
Bahkan ada satu-dua perusahaan yang sudah memecat karyawan sejak Agustus karena sudah tidak menerima order lagi. Kalaupun belum melakukan pemecatan, perusahaan-perusahaan ini sudah merumahkan pegawai mereka.
Rata-rata perusahaan itu merupakan eksportir yang menjual produksi mereka ke pasar Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Lantaran krisis keuangan global, bahkan di sebagian negara maju sudah berubah menjadi resesi, impor--terutama dari negara-negara Asia--dikurangi atau malah distop sama sekali.
Ada perusahaan yang sudah tak menerima order sama sekali. Ada juga yang masih produksi untuk memenuhi sisa kontrak sebelumnya, tapi mulai kebingungan karena tak tampak tanda-tanda akan ada order untuk tahun depan.
Hoong He-jun, salah seorang manajer PT Eins Trand Indonesia, bingung setelah satu dari 10 pembelinya di Amerika Serikat menyetop impor garmen dan tekstil dari perusahaannya.
Gara-gara satu pembeli saja yang stop impor, perusahaannya menderita kerugian sekitar US$ 2 juta. Ia tak membayangkan bagaimana kalau pembeli lainnya juga melakukan hal sama. Padahal 100 persen produksi perusahaan ini untuk pasar Amerika.
Ia khawatir, jika krisis keuangan di Amerika tidak cepat berlalu, perusahaannya yang kini mempekerjakan 6.536 karyawan itu akan ikut tersungkur.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta Jadin C. Djamaluddin juga khawatir dalam enam bulan ke depan, gelombang pemecatan akan mencapai puncaknya. Sekitar 30 persen dari 12 ribu pekerja di pertekstilan di wilayah ini akan terancam terkena pemutusan hubungan kerja.
Menurut Jadin, ekspor tekstil DI Yogyakarta ke Amerika Serikat mencapai 30 persen, Eropa 50 persen, dan sisanya ke Asia. Jadi 80 persen ekspor tekstil ke negara-negara yang saat ini terkena krisis keuangan global.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Bandung Yohan Lukius mengatakan imbas krisis global memaksa pengusaha dalam negeri tiarap dan sulit mencari keuntungan. "Jangankan mencari untung, bisa bertahan hingga pertengahan tahun depan saja sudah bagus," ujar Yohan.
Saat ini, dia menambahkan, sudah lebih dari 7.000 karyawan Kabupaten Bandung dirumahkan. Malah, jika dirunut ke belakang, sejak krisis 1997, sudah 100 perusahaan di Kabupaten Bandung yang gulung tikar. Sekarang tinggal 350 perusahaan. Sebagian besar adalah perusahaan tekstil.
Di Surabaya, PT Maspion dikabarkan akan merumahkan 2.000 karyawan dari unit Maspion II, Buduran, Sidoarjo. Saat dimintai konfirmasi, Wakil Direktur PT Maspion Suharto tidak membenarkan namun juga tidak membantah kabar tersebut.
Menurut dia, kalaupun ada pemutusan hubungan kerja, masalahnya bukan semata-mata kenaikan upah minimum, tapi lebih banyak disebabkan oleh lesunya pasar mereka di luar negeri, terimbas krisis global. Apalagi jika nilai tukar dolar AS terus membubung hingga Rp 15 ribu.
"Pemutusan hubungan kerja massal tak bisa dihindari," kata Suharto. Pasar terbesar produk Maspion adalah Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Timur Tengah. Ada tanda-tanda negara-negara tersebut akan menyetop impor produk dari Maspion.
Di Bekasi, sekitar 3.000 orang dari 11 industri di bidang produksi elektronik, otomotif, plastik, dan tekstil bakal kehilangan pekerjaan akhir tahun ini.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bekasi Purnomo Narmiadi, produksi tiap-tiap industri itu sudah turun 30 persen lantaran para pembeli sudah berhenti memesan.
Perusahaan, kata Purnomo, sudah berupaya menekan biaya produksi, misalnya dengan mengurangi jam kerja, menurunkan produksi, atau mengalihkan pemakaian bahan bakar dari solar ke batu bara, tapi tak berhasil. Biaya produksi tetap membengkak. GRACE | NANANG SUTISNA | BERNARDA RURIT | RANA AKBARI FITRIAWAN | KUKUH S WIBOWO | HAMLUDDIN | ANWAR SISWADI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar